Pierre Cardin Indonesia, IKEA Surabaya: 4 Kasus Brand Asing vs Merek Lokal

Bahas Hak Kekayaan Intelektual dikit, yuk!

Persaingan antara perusahaan asing dan perusahaan lokal sudah bukan hal yang asing lagi, terutama di negara-negara berkembang. Hal tersebut bahkan bukanlah suatu kendala, melainkan hal yang dianggap baik karena menandakan bahwa perekonomian di negara tersebut berjalan sehat. Namun sayangnya, bentuk persaingan itu sendiri tidak selalu sehat. Tak jarang terjadi perselisihan yang berujung ke pengadilan yang terkadang disebabkan adanya perusahaan lain yang menggunakan merek dagang yang sama.

Indonesia pun tidak lepas dari isu semacam itu. Karena ternyata, sudah ada empat kasus yang berkaitan dengan penggunaan merk dagang yang melibatkan perusahaan lokal dan perusahaan asing.

1. Ketika Pierre Cardin menggugat Pierre Cardin.

Pierre Cardin Indonesia, IKEA Surabaya: 4 Kasus Brand Asing vs Merek Lokal www.tradesy.com

Kasus yang baru-baru ini ramai dibicarakan tak lain datang dari lini fashion asal Perancis, Pierre Cardin, yang menggugat seorang pengusaha Indonesia karena menjual produk fashion dengan nama merek yang sama. Dilansir dari The Jakarta Post, tuntutan Pierre Cardin terhadap Alexander Satryo Wibowo selaku pengguna merk dagang yang sama tersebut sudah diajukan sejak tahun 2015 silam. Namun akhirnya, tuntutan tersebut  berhasil dibatalkan oleh Mahkamah Agung, sehingga secara otomatis memenangkan pihak dari Alexander.

Pembatalan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung disinyalir karena merk Pierre Cardin milik Alexander sudah terlebih dahulu terdaftar di Direktorat Merek Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 1977. Sementara, merek Pierre Cardin asal Perancis meskipun sudah terkenal di mancanegara, baru mendaftarkan merek dagangnya di Indonesia pada tahun 2009, sehingga otomatis tidak ada bukti peniruan merek dagang. Terlebih lagi, dikutip dari Kompas.com, majelis juga tidak menemukan adanya bukti itikad tidak baik dari pihak tergugat, mengingat merek dagang milik Alexander selalu memberikan informasi ke konsumen yang menandakan perbedaan merek tersebut dari merek Pierre Cardin asal Perancis, berupa pencantuman nama produsen serta keterangan “made in Indonesia”.

2. IKEA Swedia melawan IKEA Surabaya.

Pierre Cardin Indonesia, IKEA Surabaya: 4 Kasus Brand Asing vs Merek Lokal www.forbes.com

Kasus yang sama juga menimpa perusahaan penjual furnitur asal Swedia melawan perusahaan asal Surabaya. IKEA, merek furnitur Swedia yang sudah berdiri sejak tahun 1943 juga harus gigit jari lantaran tuntutannya ditolak Mahkamah Agung. Tuntutannya tak lain melarang penggunaan merek dagang IKEA oleh PT. Ratania Khatulistiwa.

Merek IKEA dibawah PT. Ratania Khatulistiwa yang merupakan singkatan dari Intan Khatulistiwa Esa Abadi ini memang baru resmi terdaftar di akhir tahun 2013 lalu. Sementara IKEA asal Swedia sudah mendaftarkan mereknya di Indonesia sejak tahun 2010. Meski begitu, keputusan tetap dimenangkan oleh PT. Ratania Khatulistiwa karena ada beberapa ketentuan sesuai undang-undang. Dilansir dari The Guardian, menurut Mahkamah Agung, meski IKEA asal Swedia sudah lebih dulu mendaftarkan merek dagangnya, hal ini tidak menjadikannya pemilik resmi nama tersebut lantaran merek tersebut belum aktif secara komersil selama tiga tahun sejak pendaftaran. Mengingat IKEA sendiri baru resmi membuka gerainya di Tangerang 2014 silam, maka secara legal merek tersebut dapat dihapus dari ketentuan yang sudah ditetapkan. Alhasil, PT. Ratania Khatulistiwa berhak menjadi pemilik sah nama merek IKEA.

3. Ringo Starr yang menuntut Ringgo Star.

Pierre Cardin Indonesia, IKEA Surabaya: 4 Kasus Brand Asing vs Merek Lokal www.shauntmax30.com

Beberapa bulan lalu juga sempat terjadi persengketaan merek dagang. Namun, kali ini terjadi antara perusahaan lokal dengan salah satu musisi dunia, Ringo Starr. Ringo Starr yang bernama asli Richard Statkey menuntut PT. Asia Global Media untuk membatalkan pendaftaran merek Ringgo Star mereka dari Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual.

Nama merek tersebut ditelaah mempunyai kemiripan dengan nama mantan personil The Beatles tersebut. Dilansir dari Kontan, pengadilan akhirnya memutuskan untuk membatalkan pendaftaran merek milik PT. Asia Global Media atas terbuktinya itikad tidak baik dari tergugat untuk meniru dan menjiplak nama dari penggugat. Beberapa pertimbangan juga dilakukan, diantaranya mengingat bahwa nama Ringo Starr sudah lebih terkenal sejak beberapa dekade lalu. Ditambah dengan merek milik PT. Asia Global Media tersebut juga terdaftar di jenis barang yang masuk dalam kategori peranti musik.

Baca Juga: Hanya di 5 Perusahaan Ini, Kamu Bisa Merasa Spesial sebagai Karyawan Wanita

4. Vellfire Sutiono dengan Vellfire Toyota.

Pierre Cardin Indonesia, IKEA Surabaya: 4 Kasus Brand Asing vs Merek Lokal www.bestcarinf.com

Januari lalu juga terjadi kasus penggunaan merek dagang yang sama antara perusahaan mobil asal Jepang, Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha, dengan seorang pengusaha Indonesia, Sutiono.  Dilansir dari Kompas.com, Sutiono digugat lantaran pada tahun 2009, dia telah mendaftarkan merek Vellfire dibawah kepemilikannya, sehingga menyulitkan pihak Toyota untuk mendaftarkan merek Vellfire-nya.

Namun, berbeda dari kasus yang lain, kasus ini berhasil diselesaikan dengan damai. Dilansir dari laman Bisnis.com, pihak dari Toyota akhirnya mencabut gugatannya dan memilih berdamai dengan pihak Sutiono. Dikabarkan bahwa kedua pihak juga akan menjalin kerja sama untuk kedepannya.

Apa yang terjadi di keempat kasus tersebut tentunya tidak terlepas dari sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Pierre Cardin Indonesia, IKEA Surabaya: 4 Kasus Brand Asing vs Merek Lokal thejakartapost.com

Sekedar informasi, HKI ditujukan untuk melindungi segala hasil produksi yang menjadi karya seseorang. Bisa berupa, benda, ide, lagu, film, termasuk merek dagang. Hal ini tentunya untuk menghindari peniruan dan plagiarisme yang bisa dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja.

Apabila dilihat dari kacamata masyarakat awam, tentu akan terasa mudah menghakimi siapa yang meniru dan siapa yang ditiru. Namun sesungguhnya tidak semudah itu melakukannya dalam perspektif hukum lantaran terdapat berbagai pertimbangan dan bukti. Inilah salah satu faktor yang menjadikan keempat kasus tersebut berakhir dengan keputusan yang berbeda-beda pula.

Baca Juga: Perusahan Besar Ini Bisa Sukses di Mancanegara Tapi Malah Tidak Laku di Tiongkok!

Topik:

Berita Terkini Lainnya